“No country can really develop unless its citizens are educated.”
Nelson Mandela
Int
Saya merasa sedikit kaget dan bereaksi “kok bisa sih” karena salah satu aplikasi sosial media yang digunakan oleh banyak anak di Indonesia, yaitu Tiktok banyak terdapat video yang lebih kurangnya berbunyi “kuliah tidak penting, nganggur dengan gaya“. Bagaimana mungkin ada pendapat demikian?
Jelas sekali itu dapat menjadi racun bagi anak muda Indonesia untuk meragukan mimpi mereka sendiri. Padahal berdasarkan karakteristik, negara maju memiliki sumber daya manusia berpendidikan.
Setelah saya telusuri secara pribadi ada beberapa alasan kenapa stigma tersebut kembali berkembang. Pertama adanya influencer yang “mendewakan” kesuksesannya lalu mengarahkan pada “kuliah tidak penting”.
Kedua, anggapan mengenai tokoh sukses seperti Bill gates dan Steve Jobs yang memutuskan keluar dari perguruan tinggi. Mari kita ulas, lebih dalam dua alasan tersebut.
Sosial Media dan Influencer

Tidak perlu influencer besar dengan ribuan follower, cukup dengan video fyp yang ditonton oleh anak SMP atau SMA akan menjadi pukulan telak bagi dunia pendidikan.
Belum lagi beberapa influencer yang memiliki banyak pengikut mengatakan hal demikian. Sayangnya masyarakat Indonesia menelan mentah-mentah apa yang ada pada video tersebut.
Padahal sejatinya influencer tersebut mungkin saja berupaya untuk memotivasi masyarakat bahwa sebenarnya siapa saja bisa memiliki jalan kesuksesan tersendiri, walaupun tanpa sekolah dan berkuliah.
Hal itu merupakan solusi dari kaca mata seseorang yang melihat pemerataan pendidikan di Indonesia belum begitu maksimal. Tidak semua anak dapat merasakan hal yang sama dalam pendidikan.
Watak manusia yang butuh validasi menyebarkan pesan tersebut menjadi “kuliah itu gak penting, nganggur dengan gaya“. Partisipasi anak remaja yang masih “labil” memperparah stigma ini pada aplikasi Tiktok dengan musikalisasi seolah bahwa hal tersebut terlihat keren.
Tokoh Sukses

Siapa yang tidak kenal mereka berdua? produknya sangat mendunia bahkan bisa dipastikan dari 100 orang responden terdapat pengguna Apple dan Microsoft.
Keduanya keluar dari bangku perkuliahan dikarenakan beberapa alasan misalnya Steve Jobs menganggap bahwa bangku perkuliahan terlalu mahal untuk orang tua kelas pekerja dan Bill Gates ingin membangun perusahaannya sendiri.
Sebagai informasi mereka berdua memiliki “hak istimewa” sehingga dapat mendapatkan visi perusahaannya berdasarkan latar belakang pendidikannya.
Dikutip dari buku The Psychology of Money, Bill gates mendapatkan akses pada komputer secara leluasa berkat guru sekolahnya yang memiliki pandangan luas mengenai teknologi. Akhirnya dia dapat mengutak atik sampai dapat membuat pemecahan masalah dengan program.
Sedangkan Steve Jobs walaupun DO tetap hidup disekitar kampus mengambil beberapa mata kuliah mengenai seni yang memberikannya motivasi dalam membangun produk Apple.
Kesimpulan

Jika video yang “mengeberkan” mengenai kuliah tidak penting makin banyak mendapatkan views, usaha pemerintah untuk melakukan pemerataan pendidikan di Indonesia bisa benar-benar terhambat.
Walaupun narasi awalnya adalah mengenai “kuliah”, tetap saja jika pemahaman ini sampai tertanam menjadi sebuah pola pikir. Banyak pemuda akan menarik kesimpulan umum bahwa sekolah atau kuliah tidak penting.
Bisa dikatakan jika seseorang tidak dapat memiliki kesempatan mengeyam pendidikan tetapi memiliki pola pikir maju dan luas, itu berita bagus. Sebaliknya walaupun ada bangunan sekolah tapi memiliki pola pikir demikian, itu harus diperbaiki.
Pemerintah harusnya memandang peristiwa ini bukan sekadar angin lewat. Regulasi mengenai konten sosial media harus mulai digalakan oleh kominfo. Bukan hanya video pornografi saja yang bisa merusak masyarakat dan bangsa Indonesia!
Black Agenda
Bagian ini hanyalah tambahan dari kesimpulan di atas. Pendidikan merupakan musuh bagi beberapa orang. Kenapa? manusia berpendidikan cenderung sulit untuk diarahkan atau dikendalikan.
Siapa saja yang diuntungkan dengan rendahnya pendidikan suatu negara? menyebutnya secara langsung mungkin saya beperluang membentuk kegaduhan.
Berdasarkan artikel berita, beberapa peristiwa kerusuhan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh hoax dan salah paham. Kominfo pada tahun 2017 memberikan laporan bahwa sebanyak 800 ribu situs adalah penyebar hoax.
Sebuah penelitian “Recognise misinformation and verify before sharing: a reasoned action and information literacy perspective” dilakukan di Jakarta dengan 396 responden.
Hasil penelitian tersebut menunjukan adanya korelasi negatif antara tingkat pendidikan dan penghasilan dengan perilaku penyebaran hoax atau misinfomasi (tanpa verifikasi).
Intinya adalah semakin rendah tingkat pendidikan dan penghasilan responden maka semakin besar peluang mereka menyebarkan hoax (Khan & Idris, 2019).
Sejarah juga membuktikan bahwa perang yang menelan beberapa korban jiwa ada yang disebabkan oleh penyebaran hoax atau pernahkah anda mendengar hancurnya sebuah brand karena hoax juga?
Daftar Pustaka
Khan, M. L., & Idris, I. K. (2019). Recognise misinformation and verify before sharing: a reasoned action and information literacy perspective. Behaviour & Information Technology, 38(12), 1194–1212. https://doi.org/10.1080/0144929X.2019.1578828